Lubuklinggau, LINKNEWS.CO.ID – Mencintai dan menyayangi terhadap sebuah sejarah perjuangan dan keberagaman budaya Nusantara, setiap seorang memiliki cara tersendiri untuk menunjukkannya. Beberapa orang ada yang mengekspresikannya melalui seni tari, seni tutur, seni tulisan dan masih banyak lagi yang lainnya. Akan tetapi, ternyata hal ini bisa juga dilakukan dari sebuah hobi seseorang dengan melihat dari arah dan pandangan kesukaan setiap orang masing – masing.
Seperti halnya seseroang yang hobi dan kagum mengoleksi benda – benda pusaka, ini mungkin dilihat dari nilai sebuah sejarahnya, bisa juga dilihat karena dianggap bagian penting dari sebuah ciri khas suatu kebudayaan daerah.
Ia adalah Dandim 0406 Kota Lubuklinggau, Letkol Erwinsyah Taupan banyak mengkoleksi benda pusaka yang anggap bernilai sejarah. Hal ini diimplementasikannya, sebagai bentuk rasa cinta dan sayangnya terhadap kebhinekaan dan kebudayaan Nusantara.
Tak tanggung-tanggung, pria berperawakan tinggi putih ini memiliki 51 benda pusaka berupa keris, siwar, parang, pedang, tombak, pataka, Al Quran mini Istambul Turki pembuatan 1931, gelang gading gajah berumur sekitar 51 tahun .
Hebatnya lagi, seluruh benda pusaka yang dimilikinya standarisasi dan sertifkasi dari kurator museum serta komunitas atau panguyuban. Dan setiap benda pusaka dilengkapi keterangan tertulis yang tertata rapi diruangan kerjanya.
“Ada benda pusaka berupa keris dari era Kerajaan Majapahit, Singosari, Sumsel dan lainnya. Dan paling saya sukai Tombak Trisula, dimana berdasarkan penangguhan dari era Majapahit. Istimewanya tombak ini warangkanya dari kayu jati, dihiasi pakai perak dan diukir, dan dihiasi blue safir, permata dan merah rubi, kinatan pakai mas murni 24 karat ditiga sisi bilah,” bebernya, sambil menunjukan koleksinya, Kamis (26/08).
Dari era Kerajaan Majapahit, Erwin mengaku memiliki tiga benda pusaka, yaitu Tombak Trisula, Pataka Wijana Nareswara sebagai cikal bakal terbentuknya bendera Merah Putih dan Pataka Surya Majapahit sebagai simbol kerajaan Majapahit saat itu.
“Saya juga punya keris Palembang era susuan Abdurahman sekitar tahun 1600-17000, estimasinya sekarang sekitar 300 tahunan lebih,” terangnya.
Kemudian ada juga pusaka keris Pukal dari wilayah Semendo, Kabupaten Muara Enim, Sumsel. Biasanya diturunkan secara turun temurun dari kalangan pesirah atau pembesar ditempat tersebut. Sarung keris terbuat dari kayu terembalu, hiasan motifnya khas Sumsel, jejernya dari gading gajah, mendaknya dari perak, jenis kerisnya lurus tanpa pamor,” jelasnya.
Selanjutnya, Erwin menunjukkan pusaka sepasang parang Hamantau Bedung dari daerah Kabupaten Musi Banyuasin. Bisanya digunakan sebagai alat pelengkap nikahan di acara tradisi lamaran. “Ini sebagai simbol atau perlambang bagi perempuan sebagai perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan laki-laki sebagai kepala keluarga rezekinya lancar,” katanya.
Lebih jauh dia mengungkapkan, ketertarikannya dengan benda-benda pusaka mulai sekitar tahun 1996. Awalnya dia mengoleksi perangka dan uang logam kuno. Lalu sebagai keturunan Puyang Megang Sakti di Muara Enim, secara turun temurun anak laki-laki diturunkan pusaka, sehingga mulai saat itu Erwin mulai mengoleksi benda pusaka dari daerah lainnya.
“Sebagian besar pusaka turun temurun dari keluarga saya dan ada juga dari keluarga istri saya. Setelah komunikasi dengan kawan kawan banyak juga yang menitip. Alhamdulillah semua ada standarisasi dan sertifikasinya dari museum dan komunitas,” tukasnya.
Secara detail Erwin menerangkan, setiap benda pusaka itu dapat dilihat dari sisi Eksoteris dan Isoterisnya. Segi eksoteris dilihat dari sisi keindahan fisik dan kelangkannya. “Jika tidak semua orang punya benda pusaka itu, maka kita termasuk orang yang memiliki benda pusaka esoteri yang lebih,” ungkapnya
Sedangkan sisi isoteri melekat pada nilai spiritual atau filosofi dalam keris. “Ada juga dapur dalam bentukan keris dan pamor motif dalam bilah keris yang mengandung filosofi pembuatan keris,” pungkasnya.
Wartawan : Alvinus Novian